Kefasihannya sebagai seniman musik sudah tampak sedari kecil. Di saat usianya belum menginjak belasan, ayahnya yang kampiun seniman tradisi (pengrawit, dalang, pemain ketoprak, pun juga pemain reog) telah menggemblengnya dalam disiplin kesenimanan yang kokoh dan ketat. Joko Porong kecil bahkan harus menyisihkan dunia bermain masa kanaknya lantaran terlibat di berbagai pementasan: sebagai aktor dalam kethoprak, mengiringi pergelaran wayang kulit atau konser karawitan tradisi (klenengan) bersama kakek, ayah, dan para familinya. Ia memang terlahir dalam keluarga besar trah seniman. Dan dari sebuah desa kelahirannya di G I Mataram, Tugumulyo, Musirawas, Sumatera Selatan, Joko Porong—bersama kelompok kesenian keluarga besarnya itu—memulai kejayaannya sebagai pemusik handal.
Ia mulai diperhitungkan sebagai seniman muda bertalenta unggul. Tapi Porong masih merasa belia dan belum merasa dekat dengan jangkauan ilmu (pengetahuan) musiknya. Maka, selepas menuntaskan sekolah menengah pertamanya, di tahun 1991 hijrah ke Yogyakarta untuk memperdalam musik karawitan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesai (SMKI). Selama ngangsu kawruh di kota Gudeg ini, Porong bergabung dengan beberapa kelompok karawitan. Selama satu dasawarsa ia menjadi pengrawit di Kelompok Karawitan Warga Laras asuhan Ki Seno Nugroho. Selain itu, ia juga tergabung sebagai musisi di Padepokan Bagong Kusudiardjo Yogyakarta (1992-1996).
Semasa di Yogyakarta itu, sudah semestinya ia mendapat bekal yang lebih mumpuni, terutama gaya (mazab) karawitan Yogyakarta yang khas, dan tentu berbeda dengan gaya karawitan di daerah lainnya. Namun untuk lebih menambah nutrisi kesenimannya, Porong pun juga melakukan hijrah ke Surakarta. Di kota ini, ia melanjutkan studi kesarjanaan Karwaitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), dan diteruskan ke jenjang Pasca Sarjana program Penciptaan Seni di kampus yang sama—yang sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu.
Setiba di Surakarta Porong langsung bergaul dan terlibat aktif dalam proses bermusik dengan para pemusik di sana. Mulai dari yang muda seperti Gondrong Gunarto atau Rudi Sulistanto, hingga dengan para seniornya seperti Dedek Wahyudi, B Subono, Waluyo Sastro Sukarno, I Wayan Sadra, Rahayu Supanggah, dan A.L Suwardi. Pada tahun 2004 bersama beberapa temannya mendirikan komunitas “Ndoro Yogo” yang merupakan sekumpulan pemusik yang mendasarkan proses bermusik berbasiskan gamelan Jawa. Bersama kelompok ini, Porong telah menuntaskan 10 karya komposisi: Es Tanpa Teh, Sampak, Kinanthi, Jro ing Soran, Laras, Mozaik, Laras, Lancaran Kurang Lebih…, Putut Gelut, dan komposisi Slendro.
Ia sempat terlibat dalam proses kekaryaan bersama komponis Rahayu Supanggah, Suka Hardjana dan Darno Kartawi dalam pembuatan karya musik Bedhaya Timasan, Anane Ana, Bam-Ban dan Evolusi Calung untuk even Kulturveranstaltungen de Bundes di Berlin, Jerman (2002). Lalu, masih bersama Darno Kartawi, Porong juga sempat menggarap Paduan Suara Mahasiswa Voca Eurudita Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam Internationaler Chor Waff Bewwerb Landratsamn di Milltenberg, Jerman. Tahun 2007 ia menjadi Master Class studi Gamelan dan Gending Gaya Yogyakarta dalam Festival Gamelan Internasional di Amsterdam, Belanda.
Komponis berpenampilan necis ini juga tercatat kerap membuat musik untuk iringan tari maupun teater. Ia pernah membuat iringan music tari garapan Djarot B. Darsono, Elly D Luthan, Guntur AS, Heri Bodong Suwanto, dan beberapa karya tari garapan Sanggar Tari Surya Sumirat dan Kraton Mangkunegaran. Sementara, sebagai pembuat ilustrasi musik teater, Porong pernah terlibat dalam proyek teater puisi Suluk Muharam karya WS Rendra, Garibaba sutradara Hiroshi Keiko dari Jepang, atau sebagai komposer Kethoprak Pendapan teater Gidag Gidig Surakarta untuk program televisi dan pentas keliling.
Pada tahun 2009, suami dari Srihati yang telah memberinya seorang putri bernama Kanindayu Giwang Restuti ini, kembali melakukan hijrah. Kali ini ia hijrah ke Surabaya—lantaran harus mengajar di Jurusan Seni Drama dan Musik Universitas Negeri Surabaya. Dan di kota ini, keberadaannya sebagai komponis kian diperhitungkan: didaulat sebagai direktur artistik dalam Arts & Culture Under The Sky Asia Pacific III, serta direktur artistik dalam pentas musik dan tari Cross Culture yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Kota Surabaya, 2011. Bersama teman-teman kampus barunya, Porong juga melakukan muhibah seni ke Hzuangsho Univercity di Hzuangsho Cina.
Ia, sang komponis yang bernama populer Joko Porong itu, rupanya tengah mendekonstruksi struktur dan bentuk Lancaran—salah satu bentuk gending dalam Gamelan Jawa—menjadi semacam “langgam” yang lebih dinamis, dan menyimpang. Lancaran, dalam musik gamelan tradisi, membingkai perjalanan melodi menuju rasa seleh (akhir) yang dipungkasi oleh gandemnya suara gong suwukan. Namun di tangan komponis ini, gending bertempo cepat tersebut tinggal tersisa iramanya. Selebihnya adalah alunan nada sinden dan biola yang lebih seperti duet vokal-biola yang diirinngi oleh orkes gamelan pelog.
Itulah salah satu gubahan gending baru yang disusun oleh komponis yang bernama asli Joko Winarko ini. Komponis ini memang dikenal sangat setia dengan instrumen gamelan. Hampir semua karyanya berangkat dari alat musik tradisional ini, terlebih gamelan Jawa—sekalipun ia kerap juga bermain dengan alat-alat lain, alat-alat musik multi ethnis.
Perhatiannya pada musik gamelan memang terbilang hebat untuk komponis kelahiran Musirawas, Sumatera Selatan, ini. Komposisi di atas adalah salah satu dari banyak karya-karyanya yang berangkat dari gamelan. Debutnya dimulai ketia ia membuat komposisi Alur. Karya musik yang ”bercerita” tentang siklus hidup: kelahiran, kehidupan, kematian adalah sebentuk dinamika yang ber-alur. Komposisi yang secara musikal digarap serupa bentuk musik karnival gaya pesisiran-Cirebonan dan gaya Yogyakarta ini disajikan sebagai karya inovatif. Komposisi ini digubah semasa masih aktif sebagai mahasiswa Jurusan Karawitan di ISI Surakarta, tahun1997. Ia menyajikannya lewat perangkat gamelan berlaras Slendro.
Dalam nuansa yang agak beda, ia menyuguhkan komposisi Suh untuk karya Tugas Akhir kesarjanaannya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta pada tahun 2001. Suh, yang merupakan pengikat tali (janget) dalam instrumen kendang dan berfungsi mengatur tinggi rendahnya suara ini, menjadi tema yang memikat ketika Porong memainkannya dalam keharmonisan gamelan dan beberapa alat musik non gamelan.
Suatu ketika lelaki yang akrab dipanggil Porong ini menggarap komposisi perkusif yang menggunakan bermacam-macam gendang yang ada di wilayah Sumatera Selatan. Aneka gendang yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi kemajemukan masyarakat Sematera Selatan ini digarap dalam sajian yang rampak, dinamis, sekaligus kaya oleh berbagai variasi sesuai ragam gendang masing-masing. Gendang Melayu, Jawa, Sunda, Minang, bedug, jimbe, gondang sembilan, hingga kompang Bali berpadu dalam pola ritme yang harmonis dengan beberapa instrumen non perkusif seperti accordion, biola, vokal, kecapi, dan gambus. Komposisi perkusif ini dimainkan untuk memeriahkan Festifal Seni Sriwijaya, tahun 2002, di Palembang.
Porong juga telah membuat album rekaman Jro ing Soran (2007). Album yang mengeksplorasi esensi sustensi permainan irama pada instrumen balungan dalam gendhing soran gaya Yogyakarta ini digarab dan disajikan dengan instrumen vokal tunggal, koor, gender, slenthem, kecapi, mandolin, biola, sintren. Lewat tema musikal ini, Porong hendak menyapa kita bahwa ”Dalam perilaku keras (Jro ing soran) masih terdapat sifat kehalusan yang tinggi”.
Demikianlah Porong mendedahkan konsep sekaligus praktik bermusik eksperimental-eksploratif. Ada sedikit kesan coba-coba (trial and error) dalam pencariannya. Namun latar belakang musikal gamelan yang kokoh dan referensi musiknya yang multi etnis menjadikan yang ”coba-coba” itu menemukan sebentuk garap musik yang khas, dan unik. ”Mas Joko Porong menuangkan pemikirannya tentang bagaimana untuk dapat menghadirkan sebuah bentuk kesenian tradisi dalam masyarakat majemuk,” kata salah seorang pemerhati musiknya.
2007, komposisi musik Kinanthi
2007, album musik Jro ing Soran
2008, komposisi musik Laras
2008, komposisi musik Lancaran Kurang Lebih…
2008, komposisi musik Putut Gelut
2008, komposisi musik Slendro
2008, musik untuk tari Suaraku, Suaramu, Suara Kita karya Heri Bodong S
2008, musik untuk tari Janda Dirah karya I KomangYuli W
2009, komposisi musik ddt
2009, musik untuk tari Bandung Bondowoso karya Elly D Luthan
2009, musik untuk teater tari Garibaba sutradara Hiroshi Keiko
2009, musik untuk tari Kembang Terup karya Jajuk Sasanajati
2010, komposisi musik Osing Gak..
2010, musik untuk teater tari Paregrek karya Elly D Luthan
2010, musik untuk tari Scents karya Heri Bodong Suwanto
2011, musik untuk tari DAN karya Bimo Wiwohatmo
2011, musik untuk teater tari Pendekar Kelana sutradara Atin & GELAR