Category Archives: Tanpa kategori

Joko Porong

Standar
DSC02126
Lelaki kelahiran 26 Maret 1976 ini bernama Joko Winarko. Tapi, kerabat dan teman sejawatnya kadung suka memanggilnya Joko Porong, entah oleh amsal apa. Yang pasti, oleh para sohibnya itu, ia dikenal sebagai komponis yang mahir memainkan gamelan sekaligus cukup piawi menjadi seorang dalang—sungguhpun kegiatan memainkan wayang kulit itu kini terpendam oleh eksistensinya sebagai pemusik dan komposer muda berbakat.

Kefasihannya sebagai seniman musik sudah tampak sedari kecil. Di saat usianya belum menginjak belasan, ayahnya yang kampiun seniman tradisi (pengrawit, dalang, pemain ketoprak, pun juga pemain reog) telah menggemblengnya dalam disiplin kesenimanan yang kokoh dan ketat. Joko Porong kecil bahkan harus menyisihkan dunia bermain masa kanaknya lantaran terlibat di berbagai pementasan: sebagai aktor dalam kethoprak, mengiringi pergelaran wayang kulit atau konser karawitan tradisi (klenengan) bersama kakek, ayah, dan para familinya. Ia memang terlahir dalam keluarga besar trah seniman. Dan dari sebuah desa kelahirannya di G I Mataram, Tugumulyo, Musirawas, Sumatera Selatan, Joko Porong—bersama kelompok kesenian keluarga besarnya itu—memulai kejayaannya sebagai pemusik handal.

Ia mulai diperhitungkan sebagai seniman muda bertalenta unggul. Tapi Porong masih merasa belia dan belum merasa dekat dengan jangkauan ilmu (pengetahuan) musiknya. Maka, selepas menuntaskan sekolah menengah pertamanya, di tahun 1991 hijrah ke Yogyakarta untuk memperdalam musik karawitan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesai (SMKI). Selama ngangsu kawruh di kota Gudeg ini, Porong bergabung dengan beberapa kelompok karawitan. Selama satu dasawarsa ia menjadi pengrawit di Kelompok Karawitan Warga Laras asuhan Ki Seno Nugroho. Selain itu, ia  juga tergabung sebagai musisi di Padepokan Bagong Kusudiardjo Yogyakarta (1992-1996).

Semasa di Yogyakarta itu, sudah semestinya ia mendapat bekal yang lebih mumpuni, terutama gaya (mazab) karawitan Yogyakarta yang khas, dan tentu berbeda dengan gaya karawitan di daerah lainnya. Namun untuk lebih menambah nutrisi kesenimannya, Porong pun juga melakukan hijrah ke Surakarta. Di kota ini, ia melanjutkan studi kesarjanaan Karwaitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), dan diteruskan ke jenjang Pasca Sarjana program Penciptaan Seni di kampus yang sama—yang sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu.

Setiba di Surakarta Porong langsung bergaul dan terlibat aktif dalam proses bermusik dengan para pemusik di sana. Mulai dari yang muda seperti Gondrong Gunarto atau Rudi Sulistanto, hingga dengan para seniornya seperti Dedek Wahyudi, B Subono, Waluyo Sastro Sukarno, I Wayan Sadra, Rahayu Supanggah, dan A.L Suwardi. Pada tahun 2004 bersama beberapa temannya mendirikan komunitas “Ndoro Yogo” yang merupakan sekumpulan pemusik yang mendasarkan proses bermusik berbasiskan gamelan Jawa. Bersama kelompok ini, Porong telah menuntaskan 10 karya komposisi: Es Tanpa Teh, Sampak, Kinanthi, Jro ing Soran, Laras, Mozaik, Laras, Lancaran Kurang Lebih…, Putut Gelut, dan komposisi Slendro.

Ia sempat terlibat dalam proses kekaryaan bersama komponis Rahayu Supanggah, Suka Hardjana dan Darno Kartawi dalam pembuatan karya musik Bedhaya Timasan, Anane Ana, Bam-Ban dan Evolusi Calung untuk even Kulturveranstaltungen de Bundes di Berlin, Jerman (2002). Lalu, masih bersama Darno Kartawi, Porong juga sempat menggarap Paduan Suara Mahasiswa Voca Eurudita Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam Internationaler Chor Waff Bewwerb Landratsamn di Milltenberg, Jerman. Tahun 2007 ia menjadi Master Class studi Gamelan dan Gending Gaya Yogyakarta dalam Festival Gamelan Internasional di Amsterdam, Belanda.

Komponis berpenampilan necis ini juga tercatat kerap membuat musik untuk iringan tari maupun teater. Ia pernah membuat iringan music tari garapan Djarot B. Darsono, Elly D Luthan, Guntur AS, Heri Bodong Suwanto, dan beberapa karya tari garapan Sanggar Tari Surya Sumirat dan Kraton Mangkunegaran. Sementara, sebagai pembuat ilustrasi musik teater, Porong pernah terlibat dalam proyek teater puisi Suluk Muharam karya WS Rendra, Garibaba sutradara Hiroshi Keiko dari Jepang, atau sebagai komposer Kethoprak Pendapan teater Gidag Gidig Surakarta untuk program televisi dan pentas keliling.

Pada tahun 2009, suami dari Srihati yang telah memberinya seorang putri bernama Kanindayu Giwang Restuti ini, kembali melakukan hijrah. Kali ini ia hijrah ke Surabaya—lantaran harus mengajar di Jurusan Seni Drama dan Musik Universitas Negeri Surabaya. Dan di kota ini, keberadaannya sebagai komponis kian diperhitungkan: didaulat sebagai direktur artistik dalam Arts & Culture Under The Sky Asia Pacific III, serta direktur artistik dalam pentas musik dan tari Cross Culture yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Kota Surabaya, 2011. Bersama teman-teman kampus barunya, Porong juga melakukan muhibah seni ke Hzuangsho Univercity di Hzuangsho Cina.

Profil
Ia memulai repertornya lewat nada-nada rebab yang melengking. Tidak seperti biasanya, suara alat musik gesek dari Jawa yang biasanya sember dan cenderung menyayat itu—pada suatu malam pentas miliknya—berubah melengking. Lebih dari itu, cukup jelas juga nada-nada susul (delay) yang menguntitnya. Dan repertoar yang dibubuhi judul Lancaran Kurang Lebih itu kemudian mengalir dalam laras pelog yang destruktif.

Ia, sang komponis yang bernama populer Joko Porong itu, rupanya tengah mendekonstruksi struktur dan bentuk Lancaran—salah satu bentuk gending dalam Gamelan Jawa—menjadi semacam “langgam” yang lebih dinamis, dan menyimpang. Lancaran, dalam musik gamelan tradisi, membingkai perjalanan melodi menuju rasa seleh (akhir) yang dipungkasi oleh gandemnya suara gong suwukan. Namun di tangan komponis ini, gending bertempo cepat tersebut tinggal tersisa iramanya. Selebihnya adalah alunan nada sinden dan biola yang lebih seperti duet vokal-biola yang diirinngi oleh orkes gamelan pelog.

Itulah salah satu gubahan gending baru yang disusun oleh komponis yang bernama asli Joko Winarko ini. Komponis ini memang dikenal sangat setia dengan instrumen gamelan. Hampir semua karyanya berangkat dari alat musik tradisional ini, terlebih gamelan Jawa—sekalipun ia kerap juga bermain dengan alat-alat lain, alat-alat musik multi ethnis.

Perhatiannya pada musik gamelan memang terbilang hebat untuk komponis kelahiran Musirawas, Sumatera Selatan, ini. Komposisi di atas adalah salah satu dari banyak karya-karyanya yang berangkat dari gamelan. Debutnya dimulai ketia ia membuat komposisi Alur. Karya musik yang ”bercerita” tentang siklus hidup: kelahiran, kehidupan, kematian adalah sebentuk dinamika yang ber-alur. Komposisi yang secara musikal digarap serupa bentuk musik karnival gaya pesisiran-Cirebonan dan gaya Yogyakarta ini disajikan sebagai karya inovatif. Komposisi ini digubah semasa masih aktif sebagai mahasiswa Jurusan Karawitan di ISI Surakarta, tahun1997. Ia menyajikannya lewat perangkat gamelan berlaras Slendro.

Dalam nuansa yang agak beda, ia menyuguhkan komposisi Suh untuk karya Tugas Akhir kesarjanaannya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta pada tahun 2001. Suh, yang merupakan pengikat tali (janget) dalam instrumen kendang dan berfungsi mengatur tinggi rendahnya suara ini, menjadi tema yang memikat ketika Porong memainkannya dalam keharmonisan gamelan dan beberapa alat musik non gamelan.

Suatu ketika lelaki yang akrab dipanggil Porong ini menggarap komposisi perkusif yang menggunakan bermacam-macam gendang yang ada di wilayah Sumatera Selatan. Aneka gendang yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi kemajemukan masyarakat Sematera Selatan ini digarap dalam sajian yang rampak, dinamis, sekaligus kaya oleh berbagai variasi sesuai ragam gendang masing-masing. Gendang Melayu, Jawa, Sunda, Minang, bedug, jimbe, gondang sembilan, hingga kompang Bali berpadu dalam pola ritme yang harmonis dengan beberapa instrumen non perkusif seperti accordion, biola, vokal, kecapi, dan gambus. Komposisi perkusif ini dimainkan untuk memeriahkan Festifal Seni Sriwijaya, tahun 2002, di Palembang.

Porong juga telah membuat album rekaman Jro ing Soran (2007). Album yang mengeksplorasi esensi sustensi permainan irama pada instrumen balungan dalam gendhing soran gaya Yogyakarta ini digarab dan disajikan dengan instrumen vokal tunggal, koor, gender, slenthem, kecapi, mandolin, biola, sintren. Lewat tema musikal ini, Porong hendak menyapa kita bahwa ”Dalam perilaku keras (Jro ing soran) masih terdapat sifat kehalusan yang tinggi”.

Demikianlah Porong mendedahkan konsep sekaligus praktik bermusik eksperimental-eksploratif. Ada sedikit kesan coba-coba (trial and error) dalam pencariannya. Namun latar belakang musikal gamelan yang kokoh dan referensi musiknya yang multi etnis menjadikan yang ”coba-coba” itu menemukan sebentuk garap musik yang khas, dan unik. ”Mas Joko Porong menuangkan pemikirannya tentang bagaimana untuk dapat menghadirkan sebuah bentuk kesenian tradisi dalam masyarakat majemuk,” kata salah seorang pemerhati musiknya.

Karya
2007, komposisi musik Sampak
2007, komposisi musik Kinanthi
2007, album musik Jro ing Soran
2008, komposisi musik Laras
2008, komposisi musik Lancaran Kurang Lebih…
2008, komposisi musik Putut Gelut
2008, komposisi musik Slendro
2008, musik untuk tari Suaraku, Suaramu, Suara Kita karya Heri Bodong S
2008, musik untuk tari Janda Dirah karya I KomangYuli W
2009, komposisi musik ddt
2009, musik untuk tari Bandung Bondowoso karya Elly D Luthan
2009, musik untuk teater tari Garibaba sutradara Hiroshi Keiko
2009, musik untuk tari Kembang  Terup karya Jajuk Sasanajati
2010, komposisi musik Osing Gak..
2010, musik untuk teater tari Paregrek karya Elly D Luthan
2010, musik untuk tari Scents karya Heri Bodong Suwanto
2011, musik untuk tari DAN karya Bimo Wiwohatmo
2011, musik untuk teater tari Pendekar Kelana sutradara Atin & GELAR

Gema Swaratyagita

Standar

gema swaratyagita

Lahir di Jakarta pada 8 Januari 1984, Gema Swaratyagita mengenal musik sejak usia dini. Oleh orangtuanya, pada usia 4 tahun Gema dimasukkan ke Kursus Musik Anak (KMA) Yamaha. Kemudian ia meneruskan pendidikan musiknya dengan mempelajari piano klasik dari sejumlah guru. Meski nenek dari ibunya berpendidikan musik—akibat pengaruh pendidikan Belanda—tapi kedua orangtua Gema tak memiliki latarbelakang musik sama sekali.

Soemitro Soeleiman, ayahnya, adalah seorang arsitek yang kemudian beralih profesi menjadi tenaga appraisal (penilai). Sedangkan ibunya, Etty Haryati, adalah seorang ibu rumah tangga yang sebelumnya bekerja di bidang akunting.
Ketika Gema belajar musik di Yamaha, bidang komposisi juga menjadi bagian dari materi yang diajarkan. Oleh Lena Yudha, guru pianonya, komposisi karya Gema dinilai bagus dan potensial untuk terus dikembangkan. Tapi Gema remaja tak pernah berpikir untuk menekuni bidang komposisi musik, karena kala itu ia sedang gandrung pada aktivitas band.

Selepas SMA pada 2002, Gema bersama keluarga hijrah ke Surabaya karena pekerjaan baru ayahnya. Di kota ini Gema meneruskan pendidikanya di dua tempat sekaligus, yakni Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan Pendidikan Sendratasik Jurusan Seni Musik Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Sekalipun harus menjalani dua kuliah, dan akhirnya menyelesaikannya selama 5,5 tahun secara bersamaan, tapi di sini pulalah Gema mulai berkecimpung di aktivitas seni, mulai dari teater, orkestra, hingga organisasi seni lainnya.

Adalah Endang Retnowati, seorang guru piano yang akhirnya mengembalikan gairah Gema dalam bermusik, khususnya musik klasik. “Beliau bisa ngembaliin feel dan cukup membantu dalam pendalaman pembawaan dan interpretasi musik, setelah sekian lama larut dalam aktivitas band,” ujar Gema. Sehingga, selama belajar dengan Endang, Gema merasa mulai kembali mendapatkan karakternya dalam bermain musik.

Keseriusannnya di bidang komposisi dimulai ketika ia mengerjakan sebuah proyek komposisi sebagai tugas akhir kuliahnya di UNESA. Walau sangat minim referensi apa pun tentang musik kontemporer, karya yang ia namakan Tarian Pelangi itu, kemudian juga turut ditampilkan di sebuah acara Dewan Kesenian Surabaya. Dalam proses pembuatan karya itulah, seorang teman menyarankannya untuk menemui Slamet Abdul Sjukur. Kala itu tahun 2007, dan inilah babak penting dalam kehidupan bermusik Gema. Ia menemukan musik dalam bahasa dan definisinya yang sangat lain. “Bagi dia (Slamet), aku bayi yang dia paksa minum bir,” kisahnya.

Slamet berpengaruh besar bagi Gema dalam membuat komposisi. Ia banyak memberikan semacam stimulus dalam proses berkarya, baik dari sisi analisis maupun struktur. “Kalau dulu garap komposisi masih seenaknya sendiri, sekarang agak mulai bisa merasakan ketepatan saat dan mempertimbangkan sisi menarik karya sehingga memiliki sesuatu yang berbeda,” ungkapnya. Konsep minimax yang dikembangkan Slamet juga cukup mempengaruhi Gema: untuk selalu memanfaatkan sesuatu yang minim menjadi maksimal. Slamet lebih banyak memberikan semacam stimulus, lalu membebaskan untuk mengembangkan dengan cara Gema sendiri. Sehingga, dalam membuat sebuah komposisi, ia mengarahkan untuk tetap mengarang sesuai dengan rasa dan apa yang ingin disampaikan.

Selain Slamet, Andri Wirawan adalah gurunya yang lain dalam bidang elektroakustik dan audio. Konsep berpikir yang diajarkan cukup mempengaruhi dalam logika dan pengolahan musik yang berhubungan dgn komposisi di audio. Andri Wirawan juga mengajak Gema di dalam kelompok Dusun Rhythm yang menggarap genre etnik kontemporer dengan mengeksplorasi berbagai ragam bunyi, seperti eksplorasi toy piano yang dipadukan dengan suara suling dan kertas mika.

Mengajar musik dan bekerja di radio sebagai reporter dan produser adalah kesibukkan utamanya kala itu. Karena itu, komposisi belum jadi fokusnya. Ia lebih banyak membantu musik teater di kampusnya. Baru ketika pada 2010 diselenggarakan Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF), Gema mencoba untuk lebih serius di dunia komposisi dengan mengirimkan sebuah komposisi untuk flute dan oboe bertajuk Serpih Biru.

Di ranah lain, Gema juga sempat menggarap musik untuk film dan kolaborasi musik puisi. Ia sempat berproses bersama sastrawati Lan Fang dengan membuat lagu berdasarkan salah satu puisi dalam novelnya, sebelum akhirnya pada 2011 Lan Fang meninggal dunia karena kanker. Terakhir, ia membuat lagu dan berkolaborasi seni dari beberapa cerpen sastrawati Surabaya bernama Wina Bojonegoro, yang kemudian dipentaskan di sejumlah kota.

Pada 2011 karyanya Angin Rampas dibawakan oleh swarawati Ika Sulistiyanto dan pianis Lestika Madina Hasibuan dalam konser Made in Indonesia: Indonesia Young Composer Composition di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Gema mendapat hibah proyek seni dari Yayasan Kelola bernama Empowering Woman Artist (EWA).

 
Profil
Mungkin karena pernah terlibat dalam kegiatan teater di kampus, secara tidak sadar musik-musik karya Gema Swaratyagita banyak mengeksplorasi corak teater. Bukan, bukan musik untuk menjadi ilustrasi pementasan teater. Tapi struktur maupun tampilan musiknya kerap diekspresikan secara teatrikal. Cara tutur dan logika dalam teater menginspirasinya dalam mengarang komposisi.
Misalnya pada karya Angin Rampas (2011). Ini karya untuk piano dan sopran. Pada vokal, ada bagian yang dinyanyikan lewat kata-kata tanpa nada, ada yang sprechgesang, dan ada yang hanya mengekspresikannya seperti membaca puisi atau dialog dalam teater. Sang pianis juga diberikan bagian agar ia juga ikut bersuara sambil bermain piano—juga disuarakan tanpa nada. Kata-kata tersebut berbunyi: “Kuberlari…kuberlari…”, yang harus diekspresikan seperti orang dikejar-kejar dan harus terus berlari.
“Saya lebih suka membuat kata-kata atau lirik yang dibuat seperti sedang berdialog, baik hanya melalui musik atau melalui kata-kata,” terang Gema.

Angin Rampas adalah karya Gema yang terinspirasi dari penyakit asma yang dimilikinya. Asma itulah yang menjadi materi utama di komposisi ini: suara orang bernapas, hingga sesak napas. Ia mengeksplorasi berbagai bentuk suara pernapasan. Sedangkan pada piano ia menerapkan pengembangan dari beberapa motif yang disiapkan, serta teknik memukul senar dan badan piano untuk memberi efek tegang dan tergesa. Pada karyanya ini, ia ingin menggambarkan kesibukkan manusia dalam beraktivitas, sampai tak ada sedikit waktu pun untuk bernafas.

Karyanya yang lain, Swaraga (2012), adalah karya yang terdiri dari tiga bagian: CUKo-CUKi, Cermin, dan Roda-Rodi. Lewat karyanya ini, Gema ingin mengumpat. Ia resah atas keadaan manusia yang semakin diperbudak oleh uang. Karena itu, umpatan “jiancuk” diolahnya menjadi materi soundscape untuk bagian CUKo-CUKi, dengan juga melibatkan dominasi suara koin, keadaan kota, dan ungkapan-ungkapan khas masyarakat Surabaya.

Sedangkan pada bagian Cermin yang menggunakan instrumen piano dan darbuka, pada beberapa bagiannya Gema terapkan konsep improvisatoris dengan memberikan kaidah di tiap strukturnya. Ia mengembangkan motif yang ada melalui teknik canon, mirror, dan juga ritmis yang berseberangan. Pada bagian Roda-Rodi, ia gunakan piano, rebab, dan darbuka, dengan konsep minimalis yang statis. Dengan menggunakan metafora roda yang statis berputar dari atas ke bawah, nada dan ritmik yang ada ia gunakan terus secara berulang, dengan penambahan efek delay dan distorsi dari piano.

Karya sepanjang 40 menit yang dibuat untuk acara pentas seni Pasar Seni Lukis Indonesia, Balai Pemuda Surabaya, ini dibuat Gema dalam kondisi mendadak. “Tapi saya cukup suka hasilnya.” Ceritanya, ketika dihubungi untuk membuatnya, ia sedang mengikuti workshop soundscape bersama Piet Hien. Dalam situasi yang membutuhkan kefokusan pada dua hal tersebut, akhirnya ia libatkan karya musik soundscape hasil workshop menjadi bagian dari materi komposisinya. “Sebenarnya konsep ini sudah ada lama, dan saya akhirnya menggarapnya dalam sekejap.”

Karya
Tarian Pelangi (2007), untuk piano dan cello.
Tanpa Cinta (2008), dari puisi Lan Fang dalam novel Lelakon.
Serpih Biru (2010), untuk flute dan oboe.
Angin Rampas (2011), untuk piano dan vocal.
Cermin (2012), untuk piano dan darbuka.
Cuko Cuki (2012), untuk soundscape.
Swaraga (2012), untuk soundscape, dua swarawati, piano, rebab, dan darbuka.
Jendela (2012), artsong dari puisi Joko Pinurbo untuk piano dan tenor.
Batu (2012), artsong dari puisi Sutardji Calzoum Bachri untuk piano dan soprano.
Laring 2: Ragahulu (2013)

Dedek Wahyudi

Standar

dedek wahyudi

Sejak 1982, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta—sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta—mencatat sosok ini terdaftar dalam nomor induk mahasiswa Jurusan Karawitan. Namun, hingga kini, gelar kesarjanaannya tak kunjung didekapnya. Ali-alih ditendang, ia justru diangkat sebagai tenaga studio karawitan di kampus tersebut. Kemahirannya memainkan gamelan, rupanya melampaui selembar ijazah yang banyak diidamkan banyak orang. Ia memang seorang “master” gamelan yang sangat diperhitungkan. Demikian banyak pengamat bilang.

Antonius Wahyudi Sutrisna, nama lengkap lelaki kelahiran di Klaten tahun 1960 ini, sedari kecil memang telah akrab dengan gamelan. Ayahnya sebetulnya seorang mantri kesehatan. Tapi, lingkungan keluarga kakek tempat ia tinggal—yang terdiri dalang, sinden dan para niyaga—telah menenggelamkannya untuk menggeluti dunia musik gamelan. Ketiga pamannya: Blasius Subono, Y. Subowo, dan almarhum FX Subanto yang tinggal serumah adalah para pengendang hebat yang, di kemudian hari, menjadi komposer kondang.

“Aku tidak ingat lagi kapan persisnya aku bisa memainkan gamelan. Tetapi menurut ibuku, sejak umur 4 tahun aku sudah bisa memainkan instrumen kendang,” tutur lelaki berperawakan kecil ini. Apakah kakeknya yang mengajarinya, atau salah satu dari ketiga pamannya itu, atau malah ketiga-tiganya? Sekali lagi, sosok yang akrab dipanggil Mas Dedek ini tak kuasa mengingat masa kecilnya yang gembira itu. Ia memang dikenal sebagai sosok pelupa di kalangan teman-temannya. Bahkan pernah, ia lupa “membawa” istrinya ke pusat perbelanjaan di tengah kota dan ditinggal pulang begitu saja. Kejadian ini tak sekali dua kali, juga untuk “lupa” kejadian sehari-hari lainnya.

Itu satu hal. Dan hal lain yang mesti diacungi jempol adalah ekstrem sebaliknya: ia pintar sekali menyimpan hafalan gending karawitan. Begitu cepat mengingat dan tak pernah lupa saat memainkannya. Karuan saja, seorang dalang terkenal dari Purworejo, Ki Suwandi, sempat terpukau oleh daya ingat dan kehebatan permainan kendangnya. Ki Suwandi pun langsung mengajak Dedek kecil untuk mengiringi pementasnya. “Seingatku, waktu pertama kali mencoba, tanpa berlatih aku sudah langsung bisa memainkannya,” kenang Dedek. Itu terjadi saat ia masih duduk di bangku SMP, tahun 1975, semasa bersama keluarganya pindah di Sentolo, Kulonprogo, Yogyakarta. Semula Dedek hanya mengiringi pada bagian tertentu saja. Selanjutnya, ia mengiringi semalam suntuk dan sering diajak pentas bersamanya.

Belajar secara oral dan “kupingan” (hearing) menjadi cara yang tepat bagi Dedek. Ia menguasai banyak vokabuler kendang tarian Jawa hanya dengan cara sering mendengar gending-gendingnya. Keajaibannya mengingat hafalan gending dan vokabuler garap adalah buah dari proses internalisasi secara oral tersebut. Tentu ini bukanlah alasan untuk tidak belajar secara formal. Buktinya, selulus SMP—kendati sang ayah menghendaki melanjutkan sekolah perawat—Dedek mendaftarkan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta, bahkan kemudian melanjutkan ke ASKI di kota yang sama.

Di sekolah tersebut ia memulai karir di dunia penciptaan musik. Sebagai komponis yang telah mengantongi seabrek ketrampilan teknis, ia seolah tinggal menambah gizi (ilmu) pengetahuan dan terutama jejaring seni. Dedek tekun mengamati, mempelajari, bahkan ikut terlibat di dalam proses penciptaan dan penyajian karya komposer Rahayu Supanggah, B. Subono, Al. Suwardi, juga I Wayan Sadra. Dan selama mengarungi pengalaman 20 tahun lebih sebagai komponis, ia telah menciptakan musik untuk wayang, teater, ataupun tari garapan koreografer ternama seperti Sardono W Kusumo, Mugiyono Kasido, Dedy Luthan, Miroto, dan banyak lainnya. Ia komposer musik teater “Kisah Perjuangan Suku Naga” karya sutradara WS Rendra pada Art Summit 2004.

Di luar itu, Dedek aktif di berbagai even pementasan musik tradisional dan kontemporer, di dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1994 diundang sebagai komposer tamu oleh Gamelan Pasifica Group di Seatle, Amerika Serikat, kemudian pada tahun 1997 diundang oleh South Bank Gamelan Group di London, Inggris. Selama kurun waktu itu, beberapa karyanya juga dipentaskan di Indonesia Dance Festival (1993 dan 1995), Chang Mu Festival I di Korea (1995), Tournament of Roses di USA (1995), World and Musik Festival di Inggris (1997). Ia juga banyak melakukan kolaborasi dengan pemusik lintas-budaya. Di antaranya, mengikuti program Asia Pasific Performing Exchange di Los Angeles, USA (2006). Sebelumnya, pada tahun 1998, terlibat dalam proyek Or LOKAL berkolaborasi dengan seniman dari Inggris, Belanda, dan Jerman.

Belakangan ini Dedek kerap didapuk sebagai komposer untuk pementasan wayang kulit Ki Enthus Susmono. Selain itu, ia juga menjadi penata musik “drama wayang” produksi Yayasan Senawangi dan Yayasan Swarga Loka Art Department Jakarta. Ia juga telah menggondol beberapa penghargaan, seperti Komposer Terbaik dan Penulis Komposisi Terbaik pada Kontes Karawitan Kreatif di Yogyakarta (1990), Komposer dan Penulis Lagu Terbaik dalam Festival Dramatari se Jawa Tengah (2002), Komposer Terbaik pada Festival Ketoprak se Jawa Tengah (2004), Komposser Terbaik pada Festival Tari Tradisional di Jakarta, Komposer Unggulan pada Parade Tari Nusantara di TMII Jakarta (2007), serta penerima penghargaan Musium Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas perannya sebagai Penata Musik Gamelan Coro Balen selama 36 jam, 36 menit, 36 detik dalam HUT TMII ke 36 (2011).

Profil
Menjadi komposer adalah jalan yang penuh lubang dan batu rintang. Ini yang dihadapi Dedek Wahyudi saat awal-awal menekuni dunia penciptaan di kampus ASKI. Ia bahkan nyaris KO lantaran dibantai oleh seorang empu karawitan perihal 4 karyanya yang kesemuanya meraup jawara. Ceritanya, sang empu menanyakan tentang konsepnya dalam bermusik. Sayang, Dedek tak sanggup memberikan argumen yang menyelamatkan dirinya dari cakaran sang empu. “Waktu itu saya masih mahasiswa baru. Beruntung ada seorang calon doktor etnomusikologi yang membela saya, sehingga saya terselamatkan,” kenang Dedek.

Ia terselamatkan oleh calon doktor yang tak ia sebutkan namanya itu. Dan jalan menjadi komponis mulai terkuak. Dedek menelusuri jalan ini dalam semangat niyaga yang senantiasa gairah ketika memainkan gending. Maka, ia memilih jalur komposer sekaligus player (pengrawit) yang turut memainkan sendiri alat musiknya. Terutama kendang, alat musik yang telah digaulinya sejak kanak.

Komponis ini, memang, selain piawi dalam mengolah komposisi gending, adalah seorang virtuoso kendang yang kondang. Keelokan menabuh alat perkusi ini sudah tampak sedari kecil. Dari bermain kendang untuk kesenian Jathilan hingga untuk mengiringi pagelaran wayang kulit, ia lakoni penuh suka cita. Banyak sekali vokabuler kendang untuk iringan tari juga telah digenggamnya. Pantaslah, saat diterima di SMKI, ia langsung dipercaya sebagai pengendang musik tari.

Dari pengalaman awal di SMKI itu, Dedek lantas tahu bagaimana menyusun iringan tari. Dan ia pun mulai mencobanya. Debutnya diawali saat duduk di bangku kelas 3. Di bawah bimbingan guru yang sekaligus pamannya, FX Subanto, Dedek menyusun iringan drama tari. Judulnya, “Retno Dumilah”. Vokabuler gendingnya sebagian besar adalah gending-gending yang sudah ada ditambah beberapa gending baru yang ia ciptakan. Dedek mengaku, karya perdananya ini masih sangat sederhana. “Masih seperti penataan gending semata,” ujarnya.

Pencapaian yang belum maksimal itu ternyata tak membungkus niatnya sebagai komposer. Semangatnya untuk mencipta terus menyala. Hasilnya, sampai dengan kelas 4 (waktu itu SMKI sampai kelas 4), lebih dari 10 garapan musik tari telah ia lahirkan—di samping garapan untuk konser musik berjudul “Basulakardha” serta Gending “Mars Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta”. Ini sebuah prestasi yang luar biasa bagi komponis muda sekelas sekolah menengah kejuruan.

Laik dicatat adalah bahwa kedekatannya dengan dunia tari itu menjadikan karya-karyanya lebih tampak “mengiringi” dan cenderung ilustratif. Sementara, kepiawiannya dalam memainkan kendang telah menempatkan karya-karya Dedek lebih terdengar energik, dinamis, dan “bergelora”. Ia pun moncer sebagai komponis sekaligus pengendang kelas wahid di dunia karawitan.

Akan halnya kedekatannya pada dunia tari, Dedek pun kebanjiran order dari para koreografer tingkat kampus hingga yang sudah kondang semacam Sardono W Kusumo, Mugiyono Kasido, Dedy Luthan, atau Eko Supriyanto. Bahkan kepintarannya membuat musik iringan ini merambah ke dunia teater, seperti untuk Teater Gapit dan Bengkel Teater milik WS Rendra. Karya-karya Dedek mulai mengalir produktif dalam energisitas tari, teater, dan wayang.

Pada tahun 2000 ia membentuk Dedek Gamelan Orchestra (DGO). Kelompok ini tentu untuk menyalurkan gairah kekaryaan komponis berambut keriting ini. Namun pada perkembangannya, DGO juga menyajikan karya-karya yang dilahirkan oleh para anggotanya yang terdiri para musisi, penari, dalang, sastrawan, dan pemain teater. Dan sebagaimana sang pendirinya, DGO banyak menelurkan karya, baik untuk konser musik, maupun untuk mengiringi tari, teater, film, sinetron, dan wayang.

Karya
2012, musik untuk drama wayang “Abimanyu Ranjab”, sutradara Irwan Riyadi
2012, komposisi musik “Umbul Donga”
2011, musik untuk tari “Ejecting Human”, koreografer Mugiyono Kasido
2011, musik untuk tari “Memory Shinta”, koreografer Mugiyono Kasido
2011, musik untuk drama wayang “Ciptoning”, sutradara Dewi Sulastri
2011, musik untuk wayang multi media “Serat Nusa Raya”, sutradara Anton Ratumakin
2010, drama musikal “Kidung Dewi Sri”
2010, drama musikal “Ruwat Reruwet”
2010, musik untuk wayang “Minggatnya Cebolang”, dalang Ki Slamet Gundono
2010, musik untuk tari “Samodra Raksa”, koreografer Eko Supriyanto
2010, musik untuk tari “Sangkakala”, koreografer S.Pamardi
2010, musik untuk drama wayang ”Srikandi Senopati” sutradara Dewi Sulastri
2010, musik untuk drama wayang, “Maha Barata”, sutradara Dewi Sulastri
2009, musik untuk wayang “Dewa Ruci”, dalang Ki Enthus Susmono
2009, musik untuk wayang “Minggatnya Cebolang”, dalang Ki Slamet Gundono
2009, musik untuk konser “Indahnya Kebersamaan”
2008, musik untuk tari “Bedaya Sarpa Rodra”, koreografer Saryuni Padminingsih
2008, musik untuk tari “Alas Karoban”, koreografer Jonet Sri Kuncoro

Slamet Abdul Sjukur (1935 – 2015)

Standar

SAS

Slamet Abdul Syukur lahir tanggal 30 Juni 1935 di Surabaya, Jawa Timur. Nama pemberian saat Slamet lahir adalah Soekandar, namun karena sering sakit maka ia berganti nama menjadi Slamet. Pada masa kanak-kanak, Slamet acap berkelahi dengan teman-teman sebayanya, karena dihina bahkan diludahi hanya karena kaki kanannya terserang polio saat berumur 6 bulan.  Namun, setelah ayahnya membelikan sebuah piano, Slamet kecil asyik bermain dengan teman barunya tersebut.

Tahun 1944 – 1945, Slamet mulai memiliki guru piano. Guru pertama yang mengajarnya adalah Nio, D. Tupan, pianis asal Ambon dan Paneda dari Filipina. Lalu dilanjutkan oleh Schaap, pianis dari Belanda, dan Josep Bodmer, asal Swiss dari tahun 1949-1952. Bakat musikalnya yang menonjol, membuat ia terpilih sebagai pianis pengiring siaran anak-anak PODO-MORO di RRI Malang dan RRI Kediri, di tahun 1948.

Pendidikan musik formal Slamet dimulai ketika ia terdaftar sebagai siswa Sekolah Musik Indonesia, Yogyakarta, setingkat konservatorium musik (SMIND Yogyakarta) dari tahun 1952-1956. Di sinilah Slamet A. Syukur mendapatkan guru-guru yang sangat mengesankan baginya, antara lain: Soemaryo L.E. untuk Pengantar Pengetahuan Musik serta Psikologi Musik, Nicolaj Varvolomeyeff, pemain cello dari Uni Soviet dan J. Bodmer guru  piano lamanya dari Swiss.

Karya pertamanya di tahun 1960 adalah  Point Contre,  karya pesanan dari  Radio dan TV Prancis. Atas beasiswa dari Prancis (1962-1963), Slamet melanjutkan pendidikan musik tingkat lanjut di Conservatoire National Supérieur de Musique de Paris dari sejumlah tokoh seperti, Jules Gentil (piano), Victor Gentil (musik kamar), ilmu harmoni (Georges Dandelot),  Madame Simone Plé Caussade (kontrapung dan fuga), Henri Dutilleux (teori komposisi). Ketika  belajar di École Normale de Musique de Paris (1962-1967), Slamet Abdul Syukur menerima pelajaran analisa music dari Oliver Messian. Tahun 1968, Slamet juga berkesempatan belajar singkat kepada Pierre Schaeffer dan kelompoknya Groupe de Recherches Musicales untuk music electro acoustic.

Slamet tinggal di Paris sampai tahun 1976. Atas desakan mantan gurunya Soemaryo L.E. dan sahabatnya Suka Hardjana, maka Slamet pulang ke Jakarta untuk  mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), sekarang Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga tahun 1987. Atas dorongan dan permintaan Dieter Mack komponis dari Jerman membuat Slamet memutuskan untuk  mengajar di Institut  Seni Indonesia, Surakarta, selama 6 tahun (2001 – 2006) dan  di Universitas Pendidikan Indonesia UPI), Bandung, dari tahun 2006-2009.

Dalam perjalanan karirnya Slamet menerima banyak penghargaan antara lain: OFFICIER DE L’ORDRE DES ARTS ET DES LETTRES, Prancis (2000), MILLENNIUM HALL OF FAME, American Biographical Institute (1998), PIONIR MUSIK ALTERNATIF, majalah GATRA (1996). Atas usaha penyebarluasan pendidikan musik, Slamet menerima MEDAILLE COMMEMORATIVE ZOLTAN KODALY, Hungaria (1983). Selain itu juga menerima PIRINGAN EMAS dari Academie Charles Cros, Prancis (1975), untuk penampilan Angklung di Festival Musik Folklor di Dijon dan PERTEMUAN MUSIK SURABAYA (1957): “Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik”.


Profil
Slamet Abdul Syukur, selain seorang komponis juga merupakan pendidik yang sangat aktif. Terbukti setelah kepulangannya dari Prancis, terjadi banyak sekali pembaharuan  dalam konsep pendidikan musik yang diterapkannya, terutama dalam hal komposisi (penciptaan). Apabila sebelumnya seseorang harus mendalami berbagai macam ilmu musik terlebih dahulu untuk bisa membuat sebuah karya musik, maka bagi Slamet Abdul Syukur hal tersebut di atas diletakkan pada urutan yang kedua ataupun  ketiga. Prinsipnya sering disebut MINIMAX, dari sesuatu yang sederhana atau minimal, menjadikannya sesuatu secara  maksimal dan kompleks. Selain itu juga dalam setiap karyanya, ia sering menggunakan system Kaballah  numerology,  Ferment spiral (r2 = ao) maupun matematik.

Slamet tidaklah puas jika anak didiknya hanya tahu dari satu sumber saja, maka tahun 1981, bekerja sama dengan IKJ, DKJ, TIM, Erasmus Huis, Doneamus dan Kedubes Belanda dia mengundang Ton de Leeuw  komponis Belanda,  untuk datang memberikan lokakarya, ceramah, dan konser bersama selama satu bulan. Sebagai akibat dari semua itu, maka dunia penciptaan di LPKJ/IKJ pada tahun-tahun tersebut tumbuh subur. Kini banyak para bekas muridnya dari berbagai lembaga pendidikan yang terjun di bidang pendidikan sebagai komponis murni, menerapkan konsep-konsep ataupun metode yang pernah diajarkannya. Oleh karena itu, Slamet A. Syukur bisa disebut sebagai “Bapak Musik Kontemporer Indonesia”, walau sebutan ini tidak terlalu disukainya.

Sebagai komponis, Slamet termasuk komponis yang bekerja sedikit lambat. Karya-karya musiknya banyak ditulis dalam waktu yang cukup lama. Minimal sebuah karya baru selesai dalam satu tahun, bahkan ada yang memerlukan waktu tiga tahun. Sementara dalam satu hari dia menghabisakan waktu tujuh belas jam untuk menuliskannya. Jadi untuk satu komposisi dia membutuhkan waktu pengerjaan sekitar 6120 jam.

Karyanya yang pertama kali di pergelarkan di TIM Jakarta 1977 adalah Parentheses I+II (1972) atas pesanan ‘ Deutsch de la Meurthe Foundation’. sebuah karya multi dimensional (penari, kursi menggantung, cahaya lampu dan piano sumbat/prepared piano). Ini merupakan kali kedua karya ini dipentaskan. Pementasan yang pertama adalah di Paris tahun 1972.

Dalam karya ini Slamet mengajak penonton untuk menghargai sunyi, dan dengan menghargai sunyi maka bunyi menjadi sangat berarti, sesuatu yang sakral. Sementara disisi lain  hubungan antara tari, musik , kursi menggantung dan cahaya menjadi  tidak hanya  hadir untuk saling mengkait, namun masing-masing juga mencapai dimensi yang saling berbeda.

Parentheses I+II, selanjutnya diikuti dengan ParenthesesIII (1973-1975) untuk 4 kwartet: a. flute, oboe, klarinet dan basson, b. visual: 2 penari perempuan (kontemporer+tradisi Jawa), konduktor yang samar-samar mengikuti koreografi, patung raksasa, c. kwartet vokal ( soprano koloratura, narator bass bariton, kedua suara penari), d. string kwartet. Sajak oleh Ronald D. Laing, karya ini merupakan pesanan Kementerian Kebudayaan Prancis.

Kemudian pada waktu yang bersamaan  disusul oleh  Parentheses IV (1973) untuk, pelukis, lukisan dalam proses, 2 gitar listrik, perkusi, synthesizer, 2 penari perempuan (kontemporer+tradisi Jawa), Flute, piano sumbat, biolin, dan cello, pesanan untuk Festival Non Stop des Menuires  untuk siaran dokumentasi Film Gaumont, lalu ParenthesesV (1981), Parentheses VI (1983), dan  ParenthesesVII (1985- ), yang sedang dalam proses hingga sekarang.

I Wayan Sadra

Standar

wawan_sandra_hl

I Wayan Sadra (lahir di Denpasar, Bali, 1 Agustus 1954 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 14 April 2011 pada umur 56 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa komposisi musik yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Dia menjadi dosen musik gamelan Bali di beberapa perguruan tinggi antara lain Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, dan Universitas Indonesia. I Wayan Sadra merupakan salah satu penerima penghargaan New Horizon Award dari International Society for Art Science and Technology, Berkeley, California, Amerika Serikat, tahun (1991).

Latar belakang

I Wayan Sadra lahir di Denpasar, Bali, 1 Agustus 1954. Sejak usia muda, dia sudah menggeluti dunia seni, terutama musik tadisi. Dia dapat memainkan gamelan hanya dengan cara sekali melihat/mendengar saja. Pada usia 11 tahun, Sadra bahkan sudah melatih sebuah kelompok gamelan di Puri Kendran, Gianyar, Bali. Sadra mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Musik Konservatori Karawitan Spesialisasi Musik Tradisional Bali (1972), kemudian melanjutkan di Jurusan Seni Rupa Lembaga Kesenian Jakarta namun tidak ia tamatkan. Pindah ke Surakarta dan kuliah pada Jurusan Karawitan, Institut Seni Indonesia Surakarta, lalu pascasarjananya ditempuh di perguruan tinggi yang sama. I Wayan Sadra menjadi pengajar musik, terutama musik gamelan Bali dibeberapa perguruan tinggi antara lain STSI/ISI Surakarta, Institut Kesenian Jakarta (1975–1978), dan di Universitas Indonesia (1978–1980). Sejak tahun 1979, ia telah membuat musik untuk konser, musikalisasi puisi, teater, ilustrasi untuk film kartun, iringan tari, dan seni instalasi. Di samping mencipta musik, ia juga menulis artikel, kritik musik untuk beberapa media massa.

Proses kreatif

  • Tahun 1973 I Wayan Sadra bergabung dengan grup Sardono W. Kusumo mementaskan Dongeng dari Dirah, dan turut serta berkeliling Eropa bersama grup ini.
  • Tahun 1988, menjadi pembicara dalam Pekan Komponis Nasional di Jakarta
  • Tahun 1989, ikut menghadiri California the Pacific Rim Festival
  • Tahun 1990, turut berpartisipasi dalam acara Composer to Composer di Telluride, Colorado, Amerika Serikat.
  • Tahun (1991) menjadi composer-residence di Dartmouth College, Hanover, New Hampshire, Amerika Serikat (1991)
  • Tahun (1993) menjadi komposer tamu Pan Festival Pacific di Wellington, Selandia Baru.
  • Beberapa karya musi I Wayan Sadra diterbitkan dalam bentuk compact disc, oleh Broadcasting Music Incorporation (BMI), Prog Peak Composer Collective, American Gamelan Institut (AGI), Leonardo Journal Publication dan The Japan Foundation. Karyanya antara lain Snow’s Own Dream (1992) dan Interactions/New Music untuk Gamelan. Karya-karya tersebut disiarkan oleh beberapa radio di dalam dan diluar negeri, termasuk dipentaskan di beberapa negara.
  • Tahun 1991, Sadra menerima penghargaan New Horizon Award dari International Society for Art Science and Technology, Berkeley, California, Amerika Serikat.
  • Salah satu perlawanan Sadra tehadap penyeragaman selera musik adalah dengan mementaskan karyanya, Borderless, pada bulan Juli 2009 lalu di Teater Salihara dan Pasar Minggu. Borderless adalah sebuah musik yang berangkat dari instrumen drum, keyboard, saksofon, flute dan bass tapi dimainkan dengan cara yang berbeda.

Karya

  • Ludludan (1978)
  • Snow’s Own Dream Interactions/New Music untuk Gamelan (1992)
  • Otot Kawat Tulang Besi (1993)
  • Gatra Swara (1994)
  • Oaeo (1993)
  • Mulutmu Tong Sampah (1995)
  • Bunyi Bagi Suara yang Kalah (1997)
  • Dialog dengan Sapi (1997)
  • Suitasuit (1999)
  • Borderless (2009)

Diambil dari https://id.wikipedia.org